Kiddy Baby Set Bee theme Shoes BYBG.SSV4.OG :: Gift Set :: Gift Set :: Hat & Shoes Set :: kadomikado.com

Kiddy Baby Set Bee theme Shoes BYBG.SSV4.OG :: Gift Set :: Gift Set :: Hat & Shoes Set :: kadomikado.com

Cara menjadi orang tua yang efektif

1. Kenali anak, apakah dia pemalu atau periang. Kemudian perlakukan anak sesuai dengan karakternya, jangan paksa anak untuk menjadi karakter lain
2. Jangan mengabaikan saat anak berlaku manis dan baik. Beri pujian terhadap semua hal yang dia lakukan.
3. Anak harus dilibatkan dalam kegiatan dan keputusan keluarga. Tentu saja orangtua harus menyesuaikan porsinya dengan usia anak. Misalnya, membahas soal liburan bersama dan memberi anak tugas rumah tangga yang bersifat ringan (misalnya melipat serbet)
4. Manfaatkan kesempatan untuk mendekatkan diri dengan anak. Bahkan saat berada di tengah kemacetan, manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya untuk menelepon anak. Jika ada waktu menonton televisi bersama, gunakan untuk menanamkan nilai pada anak.
5. Sediakan waktu khusus untuk berdua saja dengan anak. Misalnya dengan mengantar atau menjemput dari sekolah.
6. Disiplin harus ditegakkan. Orang tua harus menyamakan disiplin versi orang tua dengan disiplin versi pengasuh anak. Namun, jangan menjadikan disiplin sebagai teknik mendidik anak yang utama karena hal ini akan berakibat orangtua akan mengutamakan hukuman dan kekerasan dalam mendidik anak.
7. Jadilah contoh yang baik bagi anak. Sebab anak adalah peniru ulung dan menjadikan orangtua sebagai polanya.
8. Ungkapkan kasih sayang orang tua kepada anak. Jangan menganggap remeh dengan menganggap anak sudah pasti tahu dengan sendirinya. Kata-kata, belaian, pelukan, dan ciuman punya arti penting bagi anak.
9. Perhatikan komunikasi dengan anak. Jangan lupa, kontak mata punya pengaruh penting untuk urusan ini.
10. Orang tua sebaiknya jangan menyelesaikan masalah saat marah. Sebab jika orang tua mengatakan kata-kata yang menyakitkan, kata-kata itu akan membekas di benak anak.

1.

Penanganan anak yang merasa dirinya ditolak oleh orang tua.

1.Terlebih dahulu harus dicari sumber daripada sikap penolakan orang tua terhadap anak tersebut.
2.Orang tua menginsyafi bahwa tuntutan terhadap anaknya, baik di rumah maupun di sekolah, terlalu berat sehingga anaknya tidak dapat melaksanakannya.
3.Orang tua berharap belajar menyayangi anaknya, dan jangan terlalu membandingkan anak tersebut dengan anak lainnya.

teori keluarga

Membangun Keluarga Kompak dengan Berbagai Pendekatan
1. Pendekatan Teori Struktural
Pendekatan struktural dalam membangun keluarga lebih ditekankan pada konsep bahwa keluarga itu lebih dari sekedar individu-individu biopsychodinamic dari anggota keluarga. Dimana para anggota keluarga saling berhubungan sesuai dengan susunan yang jelas dan pasti untuk menentukan transaksinya. Susunan tersebut meskipun tidak tegas diakui namun secara keseluruhan merupakan struktur keluarga.
Teori pendekatan struktural meman-dang bahwa mekanisme berjalannya sebuah keluarga dapat dilihat pada bagaimana komponen-komponen dalam suatu sistem keluarga berinteraksi dan saling mempengaruhi, bagaimana keseimbangan dapat dicapai atau adanya homeostatis, bagaimana keluarga menjalankan mekanisme timbal balik atau feedbacknya, bagaimana mengembangkan pola
jika terjadi disfungsi komunikasi. Selain itu, perhatian dalam pendekatan ini juga ditujukan pada bentuk transaksi dalam keluarga yang memberikan petunjuk dan saran dalam pengaturan keluarga, bagaimana boundaries atau batasan subsistem dalam keluarga, bagaimana eksistensi dan mekanisme
alignments dalam melaksanakan tugas keluarga, dan bagaimana membangun serta menempatkan power masing-masing anggota keluarga dalam berhubungan secara aktif atau pasif dalam mengkombinasikan kekuatannya.
Rosenberg1 menyimpulkan bahwa ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan, maka dapat diasumsikan bahwa keluarga tersebut mengalami disfungsi struktur. Diharapkan keluarga dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya, dapat memasukkan dinamika perkembangan baru atau melakukan negosiasi dengan baik jika terjadi lingkaran krisis dalam keluarga.
Secara teoritis, Minuchin2 beranggapan bahwa keluarga sebagai sistem sosial yang berbeda akan dapat mengembangkan identifikasi pola transakasi yaitu, bagaimana, kapan, dan siapa anggota keluarga yang saling berhubungan. Pada dasarnya suatu sistem keluarga disusun berdasarkan pola transaksi, sistem tersebut mengurus dan mempertahankan dirinya sendiri dalam ruang lingkup yang sempit, membangun kembali tindakan-tindakan yang menyimpang agar menjadi mekanisme yang homeostatis dengan cara membiasakan diri dangan pola yang baru. Dengan kata lain dalam struktur keluarga selalu terbuka peluang perubahan-perubahan interaksi yang dinamis dan harmonis menuju
arah perbaikan dan peningkatan yang lebih positif.
Orangtua yang ingin berhasil dalam keluarganya, haruslah : (1) menjelaskan secara umum batasan-batasan secara bersama untuk membentuk sebuah subsistem yang kuat, (2) alingments antara orangtua dengan pokok permasalahan, seperti penerapan disiplin, (3) adanya peraturan yang berhubungan dengan kekuasaan dan authority (hak-hak untuk bertindak), di mana mengindikasikan bahwa orangtua akan bertindak atau berlaku jika mereka tidak setuju dan orangtua akan menunjukkan atau mengemukakan harapan-harapannya ketika mereka setuju.
Pada sistem keluarga yang simbang, aturan yang menentukan sistem keluarga terkait dengan bagaimana orangtua mencapai keberhasilan dan mempertahankan harga dirinya. Aturan ini selanjutnya membentuk konteks dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan perasaan harga dirinya. Hal pokok dalam keluarga adalah bagaimana membantu setiap anggota keluarga dalam mengembangkan kondisi yang baik (wellness) dan menjadi seutuh mungkin dengan membangun self-esteem, meningkatkan self worth, membongkar dan membenahi ketidaksesuaian relasi, interaksi dan komunikasi dalam keluarga. Keintiman dari masing-masing anggota keluarga berperan penting dalam hubungan keluarga sebagai sarana tumbuh bagi seluruh individu anggota keluarga.
Virginia Satir, menyebutkan bahwa kriteria kesehatan psikologis individu meliputi kemampuan untuk menerima diri sendiri dan orang lain serta merasa nyaman dalam penerimaan yang sedemikian, menyadari kebutuhan dan perasaannya sendiri, kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan kemampuan untuk menerima perbedaan dan sudut pandang orang lain.3
2. Pendekatan Teori Komunikasi
Menurut teori komunikasi, semua perilaku adalah komunikasi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Setiap komunikasi memiliki isi yang akan disampaikan dan perintah (pada umumnya tersirat ). Komunikasi dapat berbentuk gerakan, isyarat, bahasa tubuh, tekanan suara, postur, intensitas atau tekanan terhadap apa yang dibicarakan. Kadang-kadang dalam setiap harinya seseorang mengirim pesan berkali-kali baik verbal maupun non-verbal, dan setiap pesan diubah dan diganti melalui pesan lainnya dalam abstraksi yang berbeda. Dengan demikian seseorang memikirkan satu hal dan hal lainnya, mengubah, melebihkan atau bahkan membantah apa yang telah pernah dikatakannya. Sehingga komunikasi lebih dari sekedar menyampaikan pesan, namun yang lebih penting adalah perintah di balik informasi yang disampaikan tersebut; dengan kata lain tidak hanya pesan yang tersurat tetapi lebih dari itu pesan yang tersirat. Suatu hubungan didifinisikan dengan pesan-pesan tersebut. Pesan inilah yang akan menentukan apakah suatu hubungan dapat stabil atau tidak, atau menentukan peran anggota keluarga dalam keluarga tersebut dalam kondisi yang homeostatis atau tidak. Dalam keluarga, pola komunikasi dibentuk oleh hubungan antara pemberi dan penerima pesan. Bila hubungan didasarkan pada kesetaraan (equality), maka pola ini bersifat simetris. Pola simetris memungkinkan kedua belah pihak untuk saling terbuka dan dapat memunculkan ‘persaingan’. Sedangkan bila salah satu pihak berada dalam posisi superior dan pihak yang lain dalam posisi inferior, maka pola hubungan tersebut bersifat komplementer. Dalam pendekatan lain, komunikasi dipandang sebagai serangakaian perilaku dan menentukan hubungan antar anggota keluarga. Bila suami memiliki suatu pandangan bahwa berdiskusi dengan istri dilakukan pada waktu tertentu saja, maka suami menerapkan system konvensional. Namun bila istri memiliki pandangan bahwa berdiskusi akan lebih efektif dilakukan sambil makan pagi maka istri menerapkan hubungan yang bersifat lebih hangat. Agar tidak terjadi interaksi atau pola komunikasi yang tidak sehat maka diperlukan adanya identifikasi yang sistematis pada perilaku dalam hal perbedaan, hubungan, cara anggota keluarga memahami dan menanggapi perilaku tersebut, serta pola hubungan antar anggota keluarga yang akan menjadikan sistem keluarga tersebut imbang (balance).
Menurut Satir dalam Goldenberg4, cara yang tepat dalam berkomunikasi adalah dengan membantu memulihkan kembali penggunaan perasaan dan kemampuan untuk berhubungan dengan perasaan dan menerima perasaan itu sebagai perasaan yang sesungguhnya. Dengan kata lain individu (dan keluarga) membangun kembali perasaan berharga (self worth), membuka kemungkinankemungkinan membuat pilihan dan perubahan dalam relasinya. Membentuk pola interaksi dalam keluarga dimulai dengan memahami pola komunikasi, dan pola komunikasi akan berjalan dengan baik jika: 1) mengenali adanya perbedaan individual pada setiap anggota keluarga, 2) menerima
perbedaan pendapat dan perbedaan persepsi dari situasi yang sama, 3) bagaimana melihat, berpikir, menilai, dan merasakan suatu permasalahan.
Keluarga sebagai lembaga dibangun dari relasi, berkembang melalui proses dalam komunikasi dan dapat runtuh karena komunikasi yang tidak terjalin. Permasalahan yang kadang terjadi dalam keluarga ciri utamanya dengan adanya hambatan komunikasi dalam keluarga. Masalah
yang terjadi pada pasangan suami istri, orangtua dan anak berakar dari relasi yang tidak terbuka antara pasangan sehingga mereka saling mengembangkan asumsi-asumsi yang keliru tentang pasangan atau dengan anak tanpa dikomunikasikan secara efektif sehingga membuka konflik yang tidak jarang berakhir dengan percekcokan bahkan perpisahan. Bagi anak-anak permasalahan kerap muncul karena konstribusi relasi orangtua yang tidak dekat, tidak konsisten dan tidak memberikan kesempatan berkomunikasi secara terbuka dari hati ke hati dengan anak. Komunikasi yang berjalan 4 Goldenberg, Irene & Goldenberg, Herbert, Family Therapy: an Overview, 2nd Edition (Brook/Cole Publishing Company, 1985), h. 187.
hanya searah dan difahami sebagai instruksi pada anak tanpa penjelasan yang tepat sehingga menimbulkan luka bagi anak-anak dan menjauhkan anak dari orangtua dan keluarga. Sepasang suami istri dalam sebuah keluarga diharapkan mampu saling mempercayai, secara finansial, seksual dan emosional bukan hanya karena kualitas pribadi masing-masing melainkan karena menikah berarti sebagian besar milik pribadi menjadi milik bersama. Menikah bukan hanya menegaskan hubungan cinta yang sudah terjalin sebelumnya. Perkawinan sebenarnya mengubah tujuan dan perilaku seseorang sedemikian rupa dalam cara yang akan meningkatkan kualitas hidup. 5 Lebih khusus lagi, menurut Satir dalam Guman & Frankel bahwa bagaimana relasi yang dibangun dalam keluarga menunjukkan bagaimana pola interaksi yang dilakukan dalam keluarga. Pola interaksi yang sehat menuntut anggota keluarga belajar untuk saling memahami dan mempercayai satu sama lain, sehingga jika ada kesalahan komunikasi yang telah lalu dapat dimunculkan dan diperbaiki. Terkait dengan hal tersebut, ada tiga bagian yang membentuk pola interaksi pasangan, yakni : 1) Persepsi seseorang atas dirinya sendiri dan pasangannya. 2) Bagaimana
seseorang dalam berpikir, merasakan dan memperlihatkan atau memanifestasikan pengalamannya itu. 3) Bagaimana seseorang bereaksi terhadap pasangannya6. Ketiga pola interaksi di atas memberi gambaran bahwa pola interaksi antar pasangan dipengaruhi oleh persepsi terhadap perilaku pasangan. Sikap istri dipengaruhi oleh bagaimana istri mempersepsi perilaku suaminya dan sebaliknya. Demikian pula halnya terhadap anak-anak, sikap anak dipengaruhi oleh bagaimana orangtua mempersepsi perilaku anak demikian pula sebaliknya. Hubungan antara suami istri adalah hubungan yang bergerak dalam siklus, hubungan saling pengaruh-mempengaruhi, dan hubungan saling timbal-balik. Wieselquist, dkk 7 mengemukakan bahwa interaksi pernikahan adalah mutual cylclical growth, yaitu hubungan di mana: 1) Ketergantungan pada pasangan menumbuhkan komitmen yang kuat, 2) Komitmen dari setiap
individu meningkatan kecenderungan terhadap perilaku-perilaku menjaga hubungan (prorelationship), 3) Individu yang berperilaku pro-relationship merasa diterima oleh pasangannya (perceived by the partner), 4) Adanya persepsi terhadap perilaku pro-relationship pasangan memperkuat rasa percaya (trust), 5) Timbulnya rasa percaya (trust) antar pasangan memperbesar ketergantungan pasangan (dependence) pada hubungan mereka berdua. Pola siklus yang terjalin dengan mantap berfungsi menghasilkan kepekaan setara, saling komitmen, dan tindakan yang sama untuk mewujudkan keinginan yang baik. Hubungan siklus di atas menunjukkan proses dyadic yaitu adanya interaksi antar pasangan serta proses dynamic yaitu proses yang berlangsung selama interaksi. Berjalannya kedua proses ini dapat menjadi sumber berlanjutnya hubungan yang sehat serta vitalitas yang berlangsung terus menerus, serta dua proses ini terlihat jelas dalam interaksi dalam wujud komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal.
Sebuah keluarga dalam kacamata ideal tidak lepas dari konstribusi komunikasi yang memainkan peran penting, sehingga ketrampilan berkomunikasi merupakan faktor yang seyogyanya . Dikembangkan dalam keluarga. Burleson & Denton 8 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterampilan berkomunikasi pasangan dengan kepuasan pernikahan. Menurut keduanya bahwa, kemampuan berkomunikasi adalah suatu kemampuan untuk mewujudkan tujuan yang melibatkan kemampuan seperti menginterpre-tasikan dan menggunakan simbol komunikasi yang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tentunya tidak luput memperhatikan dengan “siapa” salah satu pihak berinteraksi. Simbol komunikasi yang digunakan
antara suami istri tentu akan berbeda dengan simbol yang diterapkan antara ayah atau ibu dengan anaknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Bobcock, et.al9 menunjukkan bahwa pola interaksi dimana suami sebagai pihak dominan dan istri yang cenderung menarik diri berhubungan dengan kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga. Hal ini terjadi karena tidak adanya komunikasi timbal-balik
melainkan hanya komunikasi satu arah.
Membangun keluarga kompak harus melalui kerja keras yang dilakukan dalam pembiasaan dengan beberapa metode yang dapat menumbuhkan kekuatan rasa kebersamaan, baik dengan pasangan maupun dengan anak, serta menumbuhkan komunikasi yang baik diantara berbagai pihak terkait dalam keluarga.
3. Pendekatan Teori Behavioral Parent
Penerapan metode behavior dalam keluarga adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip berupa proses belajar individu (human learning) dalam meningkatkan perilaku yang lebih baik maupun dalam merubah perilaku seperti maladaptif, perilaku disfungsional dan problem-problem yang terjadi pada setiap anggota keluarga (Goldenberg, 1985) 10. Pendekatan ini tidak lain adalah pendekatan perilaku yang lebih ditekankan pada bagaimana perilaku orang tua menjadi sumber keteladanan bagi anak. Tujuan utama dari behavioral parent adalah menyarankan bagi para orang tua untuk mengubah perilaku anak yang bermasalah dan meningkatkan perilaku yang baik, dengan terlebih dahulu dimulai dari orangtua. Pada perkembangan beberapa dekade ini, telah banyak dikembangkan pelatihan-pelatihan yang bagi orangtua melalui teknik dan prinsip-prinsip behavioral sehingga dapat diterapkan di rumah melalui aktivitas sehari-hari orangtua dengan anak-anak akan dapat mengubah perilaku dalam usaha memodifikasi tingkah laku anak-anak yang tidak menyenangkan dan meningkatkan perlaku yang menyenangkan ungkap Berkowitz & Graziano (dalam Goldenberg, 1985)11. Keteladanan orangtua dalam aktivitas hidup sehari-hari dapat ditunjukkan dengan perilaku yang positif dengan beberapa
cara seperti : saling bertenggang rasa, saling maaf-memaafkan, membudayakan tolong-menolong dan ‘terima-kasih’, saling menghargai, menyiasati pertengkaran, memumbuhkan kepercayaan dan sebagainya.
Darlene Powel Hapson, Ph. D. dan Derek S. Hapson, Ph. D., pasangan psikolog klinis dan penulis buku Team Spirited Parenting; 8 Essential Principles for Parenting Succes, menyimpulkan bahwa inti dari metode pendidikan rasa kebersamaam membangun kekompakan dalam keluarga adalah memberi keteladanan. Orangtua tidak hanya menjadi ahli memerintah melainkan juga
memberi contoh atas apa yang diperintahkannya.12 Behavioral parent diarahkan pada dinamisasi interaksi anggota keluarga yang pada akhirnya
akan membangun kompetensi bagi orangtua dan juga bagi anak-anak. Melatih kekompakan pada anak tidak akan mungkin terwujud bila tidak dimulai dari orangtua. Secara universal, melatih kekompakan pada anak tidak jauh beda dengan menumbuhkan sikap persaudaraan, apakah itu terhadap kakak/adik atau teman sebayanya. Orangtua dapat melatih kekompakan anak melalui
learning berbagi, tolong-menolong, menghibur atau meminta maaf . 13
Analisis Keidealan Keluarga
1. Adanya Fungsi Struktural
Mengamati deskripsi singkat keluarga di atas, menggambarkan keberfungsian struktur dalam keluarga, adanya keseimbangan keluarga dalam menjalankan hubungan timbal balik (antara Mustakim dan Syarifah sebagai suami istri dan begitu pun terhadap anak-anak mereka). Mustakim sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya menjalankan peran sebagaimana layaknya
seorang kepala keluarga dengan tidak mengesampingkan istrinya (Syarifah) sebagai pendamping yang setara dalam menahkodai rumah tangga. Tidak ada yang berperan superior maupun imperior, sebab pengurusan rumah tangga dikelola bersama-sama, termasuk memutuskan sebuah keputusan. Pola transaksi dalam sistem keluarga yang dibangun berjalan sehat. Hal tersebut menciptakan
dinamisasi dan harmonisasi kehidupan dalam keluarga, utamanya pendistribusian kasih sayang, adanya kelekatan yang mendalam antara orangtua dengan anaknya, dan antara sesama anak.
Selain itu, gambaran keluarga di atas memiliki batasan keluarga yang sehat dan kuat.
Hubungan dyadic antara Mustakim dan Syarifah sebagai suami istri begitu dinamis dan harmonis terlihat pada penerimaan pada pribadi masing-masing, keterbukaan, keintiman, dan kebersamaan yang mereka kembangkan. Kondisi ini berpengaruh positif pada anak-anak mereka dimana merekapun menjalin kelekatan antara satu dengan yang lainnya (terhadap saudara kandung maupun
saudara seayah).
4. Karena msing-masing merasa diterima oleh pasangannya memunculkan rasa trust (saling mempercayai) diantara mereka semakin kuat.
5. Menguatnya trust akan memaksimalkan rasa saling ketergantungan diantara suami istri. Mantapnya hubungan melalui pola dan siklus di atas menjadikan berfungsinya hubungan secara penuh. Hal ini ditandai dengan adanya kepekaan yang setara antara Mustakim dan Syarifah, komitmen yang kuat, dan tindakan yang sama untuk berkeinginan yang lebih baik. Relasi ini menjadi lebih kuat dan harmonis dengan keterlibatan anak-anak mereka dalam menyikapi keinginan
orangtunya.
2. Adanya sistem komunikasi yang baik
Komunikasi yang dibangun dan dikembangkan dalam Keluarga Mustakim-Syarifah adalah komunikasi yang fleksibel, kongruen, mengedepankan keterbukaan, serta menghargai aspirasi dan apresiasi masing-masing individu dalam berkomunikasi. Pola komunikasi ini terlihat jelas ketika sebuah masalah muncul, ayah dan ibu Afifah sebagai kendali biduk rumah tangga berembuk, namun tidak serta merta mengambil keputusan begitu saja melainkan kembali mengkomunikasikan-nya dengan anak-anak mereka. Begitu pula saat ayah Afifah berusaha menyembunyikan kegalauannya, kepekaan seorang istri untuk menyikapi sinyal adanya masalah pada suaminya segera muncul.
Kekompakan mereka dalam komunikasi begitu jelas ketika harus mengambil keputusan yang mungkin menurut orang lain “langka“ dengan memutuskan bersama untuk memelihara dan mendidik adik-adik Afifah. Melalui gaya komunikasi yang kongruen masing-masing pihak sebagai komunikator dalam keluarga tampak realis, mampu mengekspresikan diri secara jujur dan tidak justru menambah kebingungan (masalah) karena didasari keterbukaan, pemahaman dan penerimaan pada masing-masing individu sebagai bukti negosiasi yang sehat.
3. Adanya proses belajar (dari pengalaman dan perilaku)
Proses belajar didapatkan dari dua hal yaitu melalui pengalaman dan perilaku. Belajar dari pengalaman mendidik anak dari orangtuanya, orangtua Afifah berusaha mendidik anaknya sebaik mungkin. Mustakim sebagai suami belajar dari kegagalannya pada perkawinan kedua berusaha untuk
memperbaiki kembali perkawinan pertamanya yang pada prinsipnya ’patut disesalinya’ karena sempat memutuskan kebahagiaannya. Syarifah sebagai istri belajar dari pengalaman sesaat sebagai single parents hingga menjadi lebih bijak menyikapi utuhnya kebersamaan keluarga yang sempat “terputus“. Penerimaan Afifah beserta kakak-kakaknya pada kembalinya sang ayah dan hadirnya
adik-adik baru berangkat dari pengalaman mereka menjalani masa-masa sulit tanpa figur ayah dan pengalaman hidup mereka yang tergolong sukses dalam pendidikan dengan keinginan menjadikan adik-adik mereka setidaknya seperti pendidikan yang telah mereka dapatkan. Proses belajar juga didapatkan dari adanya keteladanan. Keteladanan Afifah pada kedua orangtuanya dibuktikan dengan kekompakan mereka dalam menyikapi permasalahan yang ada dalam
keluarga. Kekompakan itu dipelajari dari kedua orangtuanya yang juga begitu kompak dalam menyikapi permasalahan. Afifah dan kakak-kakaknya beranggapan mengapa mereka tidak bersikap yang sama sementara kedua orangtunya sendiri memperlihatkan kekompakan itu. Ibarat sebuah tim olahraga, pemain menjadi lebih baik karena dimulai dari pelatih yang baik. Adanya perilaku keterbukaan, berbagi, saling menghargai, saling menolong, saling memaafkan dan saling mempercayai yang dicontohkan dan ditanamkan orangtua mereka memperkuat eksistensi kekompakan mereka.

Dikutip dari: Musdalifah
Volume 3 Januari - Juni 2007 IQRA’ 71